Friday, November 21, 2008

Dibawah Lindungan Kaabah (Bhg.6)

TEGAK DAN RUNTUH

Telah lalu kejadian itu dan dia telah memberi kesan ke dalam jantung saya; rupa-rupanya kedukaan dan cubaan mesti diturunkan kepada manusia secukup-cukupnya dan sepuas-puasnya, menanglah siapa yang tahan.

Sejak kematian itu tidak beberapa kerap lagi saya datang ke rumahnya, saya karam dalam permenungan, memikirkan hidup saya di belakang hari, sebatang kara di dunia ini.

Pada suatu petang sedang matahari akan tenggelam ke dasar lautan di Batang Arau, di antara Hujung Gunung Padang, di celah-celah ombak yang memecah ke atas pasir yang putih di Pulau Pandan, di waktu saya sedang berjalan seorang diri di pesisir Batang Arau yang indah, melihat perahu keluar masuk, tiba-tiba......

kelihatan oleh saya sebuah perahu tumpangan datang dari seberang, di atasnya duduk tiga orang perempuan yang agak tua, bertudung kain bugis halus, setelah perahu kecil itu hampir, keluar dari dalamnya perempuan-perempuan itu, seorang di antaranya ialah Mak Asiah sendiri, ia lekas melihat saya, " Oh, engkau Hamid? Mengapa di sini?" Katanya.

" Berjalan-jalan emak," jawabku; " Dan emak dari mana?"

" Dari menziarahi kubur bapamu….mengapa engkau tak datang ke rumah semenjak ibumu meninggal?" Kerana Engku Haji Jaafar tiada lagi, akan engkau alangi saja datang ke rumah?

" Tidak emak, Cuma kematian yang bertimpa-timpa itu agak mendukacitakan hatiku, itu sebab saya kurang benar keluar rumah.

" Tak boleh begitu, Hamid; sebabnya engkaulah yang mesti menyabarkan hati kami. Besok engkau mesti datang ke rumah, ibu tunggu kedatanganmu, banyak yang perlu kita bincangkan."

" Baiklah mak."

" Saya tunggu, ya?"

" Baik, mak!"

Setelah itu ia pun pergi di tengah jalan, sebelum mereka naik dari sampan, rupanya pembicaraan mereka terhadap diri saya saja. Kerana tak berapa jauh langkahnya, perempuan-perempuan tua yang lain semuanya menoleh kepada saya sebagai rupa orang menunjukkan belas kasihan.

Besoknya janji itu pun saya tepati.

Wahai tuan, hari itulah masa yang tak dapat saya lupakan! Saya datang ke rumah itu, rumah tempat saya bersenda gurau dengan Zainab di waktu kecil, rumah itu seakan-akan hilang semangat dan memang kehilangan semangat, kerana bekas-bekas kematian masih kelihatan nyata. Pintu luar terbuka sedikit dan saya ketuk pintunya yang mengadap ke dalam; pintu terbuka…. Zainab yang membukakan.

" Abang Hamid!" katanya.

Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat gembiranya melihat kedatangan saya. Baru sekali itu dan baru saat itu selama hidup saya melihat mukanya demikian, yang tak pernah saya gambarkan dan tuturkan dengan susunan kata, pendeknya wajah yang memberikan saya penuh pengharapan.

" Bang Hamid!" katanya menyambung perkataannya, " Sudah lama benar abang tak kemari, lupa agaknya abang kepada kami!"

Gugup saya hendak menjawab; saya pintar mengarang khayal dan angan-angan tetapi bila sampai di hadapannya saya menjadi seorang yang bodoh.

" Tidak, Zainab" jawabku dengan gugup; " Tetapi….. bukankan kita sama-sama kematian?"

" Memang, kematian itulah yang sepatutnya menjadikan abang kerap kemari."

Seketika itu mukanya kembali ditekurkannya menghadapi kakinya, tangannya berpegang ke pinggir pintu, rambutnya yang halus menutupi sebahagian keningnya dan sepatah kata pun dia tidak berbicara lagi.

" Zainab…" kataku pula. " Sebetulnya tidak saya…. Pernah lupa datang kemari, barangkali engkaulah… agaknya yang … lupa kepadaku."

Mendengar itu ia bertambah menekur, tak berani ia mengangkat muka lagi, dan saya pun gugup hendak menambah perkataan, memang bodoh saya ini, dan pengecut!

Tiba-tiba dalam saya menyediakan perkataan yang akan saya katakana pula dalam sedang merenungi kecantikan Zainab, kedengaranlah dari halaman tapak kaki emak Asiah menginjak batu; Zainab mengangkat mukanya seraya berkata: " Itu ibu datang."

Saya masih dalam kebingungan, Zainab lalu kehadapan saya mengadap kedatangan ibunya. Ketika sampai ke beranda dia berkata " Sudah lama Mid?"

" Baru sebentar, mak" jawabku.

Saya disuruh duduk, Zainab dengan segera pergi ke belakang memasak kopi sebagaimana kebiasaannya. " Hampir mak terlupa akan janji kita. Tadi mak pergi ke rumah orang sebelah kerana tiada lama lagi dia akan mengahwinkan anaknya; jadi dari sekarang sedang bersiap-siap menyediakan yang perlu, maklumlah tetangga, perlu bantu-membantu."

Saya dengarkan perkataannya, tetapi fikiran saya masih tetap ingat kepada kejadian tadi. Fikiran saya menjalar kemana-mana, memikirkan tegur Zainab dan mukanya yang merah ketika mula-mula melihat saya; hanya suatu kejadian yang tiba-tibakah itu, atau adakah dia merasai apa yang saya rasai? Dalam pada itu Mak Asiah masih tetap membicarakan beberapa perkara menyebut-nyebut jasa suaminya, menyebut kebaikan ibuku. Akhirnya sampai pembicaraan kepada Zainab.

" Bagaimanakah fikiranmu Hamid, tentang adikmu Zainab ini?"

" Apakah yang emak maksudkan' Tanya saya.

" Semua keluarga di darat (darat adalah sebutan dari Padang Halus) telah bermuafakat dengan emak hendak mempertalikan Zainab dengan seorang anak saudara almarhum bapamu, yang ada di darat itu, dia sekarang sedang bersekolah di Jawa. Maksud mereka dengan perkahwinan itu supaya hartabenda almarhum bapanya dapat dijagai oleh familinya sendiri, oleh anak saudaranya, sebab tidak ada saudara yang lain, dialah anak yang tunggal. Pertunangan itu telah dirunding oleh orang yang sepatutnya, jika tiada aral melintang, bulan depan hendak dipertunangkan dahulu, nanti apabila tamat sekolahnya akan dilangsungkan perkahwinan. Hal ini telah mak rundingkan dengan Zainab, tetapi tiap-tiap ditanya dia menjawab belum hendak bersuami, katanya, tanah perkuburan ayahnya masih merah, airmatanya belum kering lagi. Itulah sebabnya engkau disuruh kemari, akan emak lawan berunding, mak masih ingat pertalian engkau dan Zainab masa engkau kecil dan masih sekolah; engkau banyak mengetahui tabiatnya apalagi engkau tidak dipandangnya sebagai orang lain, sukakah engkau Hamid, menolong emak?" Lama saya termenung…..

" Mengapa engkau termenung, Hamid? Dapatkan engkau menolong emak, melembutkan hatinya dan memujuk ia supaya mahu? Hamid!.... emak percaya sepenuh-penuhnya kepadamu sebagai Allahyarham bapamu percaya kepada engkau!'

" Apakah yang akan dapat saya Bantu mak? Saya seorang yang lemah. Sedangkan ibunya sendiri tak dapat mematah dan melembutkan hatinya apatah lagi saya orang lain, anak semangnya."

" Jangan bercakap begitu, Hamid, engkau bukan emak pandang sebagai orang lain lagi, almarhum telah memasukkan engkau ke dalam golongan kami, walaupun beragih tetapi tak bercerai. Maka di atas namanya hari ini, di atas nama Haji Jaafar mak meminta tolong melembutkan hati adikmu."

" Oh itu namanya perintah, saya kabulkan permintaan mak."

Mukanya kelihatan gembira, meskipun dia tak sempat memperhatikan bagaimana perubahan muka saya yang telah muram. Kemudian keluarlah Zainab membawa dua cawan kopi dan beberapa piring kuih. Ibunya melihat kepadanya dengan kasih dan mesra, kerana pada diri anaknya itulah tergantung pengharapannya dan penghabisan.

" Duduk, Nab, abangmu Hamid hendak berkata-kata sepatah dua kata dengan engkau."

Saya masih agak bingung dan Zainab telah duduk dekat ibunya dengan wajah kemalu-maluan.

Beberapa minit lamanya tenang saja dalam ruangan itu tak seorang jua pun di antara kami yang berkata; ibunya seakan-akan menunggu supaya perkataan itu lekas dimulai, Zainab kelihatan malu tak mahu melihat muka saya, sedang saya masih termenung memikirkan dari manakah percakapan itu akan saya mulai.

" Bicaralah, Hamid, amat banyak masa terbuang," kata ibu dengan tiba-tiba. Sulit sekali untuk memulai pembicaraan itu, sulit menyuruh seorang mengerjakan suatu pekerjaan yang berat hatinya melakukan, pekerjaan yang berlawanan dengan kehendak hatinya sendiri. Tetapi di balik itu, sebagai seorang anak muda yang telah dicurahi orang kepercayaan dengan sepenuhnya, yang sudi mengorbankan jiwa untuk menyimpan rahsia. Akhirnya hati saya dapat saya bulatkan dan mulai berkata:

" Begini Zainab…. Sudah lama ayah meninggal, semenjak itu lenganglah rumah ini, tiada seorang pembela pun yang akan dapat menjaganya. Selain dari itu, menurut aturan hidup di dunia, seorang gadis perlulah mengikut perintah orangtuanya, terutama kita orang Timur ini. Buat menunjukkan setia hormatnya kepada orangtuanya, ia perlu menekan perasaan hati sendiri. Dia mesti ingat sebuah saja, iaitu mempergunakan dirinya, baik murah atau mahal, untuk berkhidmat kepada orangtuanya."

" Sekarang, kerana memikirkan kemuslihatan rumahtangga dan memikirkan hati ibumu, pada hal hanya sendiri lagi yang dapat engkau khidmati, ia berkehendak supaya engkau mahu dipersuamikan…. dipersuamikan dengan…kemanakan ayahmu."

Seakan-akan terlepas dari suatu beban yang maha hebat saya rasanya, setelah selesai perkataan yang sulit itu. Selama saya berbicara Zainab masih tetap menekur ke meja, tanganya mempermain-mainkan sebuah pontong macis, diramas-ramasnya dan dipatah-patahnya, belum sebuah juga perkataan keluar dari mulutnya. Setelah kira-kira lima minit lamanya, barulah mukanya diangkat, airmatanya kelihatan mengalir, mengalir setitik dua titik ke pipinya yang halus dan indah itu.

" Bagaimana, Zainab, jawablah perkataanku!"

" Belum abang, saya belum hendak kahwin.

" Atas nama ibu, atas nama almarhum ayahmu."

" Belum abang!"

" Sampai hati abang memaksa aku?"

" Abang bukan memaksa engkau, adik… ingatlah ibumu."

Mendengar itu dia kembali terdiam, ibunya pun terdiam, ia telah menangis pula. Karam rasanya bumi ini saya pijakkan, gelap tujuan yang akan saya tempuh. Dua kejadian yang hebat telah membayang dalam kehidupan saya sehari itu, tak ubahnya dengan seorang yang bermimpi mendapat sebutir mutiara ditepi lautan besar, sebelum mutiara itu dibawa pulang, tiba-tiba sudah tersedar; meskipun mata dipaksa hendak tidur, mimpi yang tadi telah tinggal mimpi, ia telah tamat sehingga itu tidak akan bertambah-tambah lagi.

Selama ini saya masih ragu, adakah Zainab membalas cinta saya; pertemuan saya dengan dia itu memberikan pengharapan sedikit pada saya, tetapi belum pengharapan itu dapat saya yakni tibalah penyerahan ibunya yang berat itu.

Hanya hingga itu dapat saya ceritakan kepada tuan apa yang terjadi sehari itu. Setelah itu saya pun pulang ke rumah saya, di jalan pulang saya rasakan badan saya sebagai bayang-bayang tanah serasa bergoyang saya pijakkan.

Bersambung....

* Penulis : Haji Abdul Malik Karim Abdullah (HAMKA)
* Tajuk : Dipetik dari buku Dibawah Lindungan Kaabah.
* Cetakan : Pustaka Antara

No comments: