Pacu Kuda & Pasar Malam II
Tertegun langkah Hayati, sehingga langkah kawan-kawannya, iaitu Khadijah dan tiga orang gadis-gadis muda yang lain itu tertegun pula. Apalagi Aziz dan teman-temannya.
"Mengapa terhenti Hayati?" tanya Khadijah sambil melihat tenang-tenang kepada Zainuddin dengan penglihatan menghina.
"Kenapa tertegun? Dan siapakah ini?" tanya Khadijah sekali lagi.
"Inilah sahabatku, Zainuddin!"
”Oooo ini orang yang kerap kali kau sebut-sebut itu rupanya.
"Ditariknya tangan Hayati ke dalam, disendengnya Aziz dengan sudut matanya, sambil tersenyum. Aziz pun tersenyum, kawan-kawannya yang lain tersenyum pula. Mereka terus ke dalam tribune. Zainuddin tinggal berdiri seorang dirinya. Jelas terdengar dan nampak nyata olehnya anak-anak muda itu setelah jauh dari dia, tertawa terbahak-bahak, hanya Hayati seorang yang berjalan menekurkan muka sehingga lantaran kebingungan hampir terlepas tas yang dipegangnya dari tangannya.
Rasa-rasanya pening kepala Zainuddin melihat kejadian itu, mengalir keringat dingin di keningnya. Dia tegak termangu, suara hiruk-pikuk sekelilingnya seakan-akan tak didengamya. Kuda yang baru dilepas telah disorak-sorak orang berkali-kali. Sebentar kedengaran "Agam ... Agam". Sebentar kedengaran "Padang ... Padang" dan seterusnya, namun Zainuddin belum juga insaf di mana dia sekarang. Khadijah dan Aziz, dan kawan-kawannya yang lain tersenyum-senyum saja melihat Hayati. Sambil mengeluarkan senyuman yang agak pahit ertinya, Khadijah berkata, sambil melihat kepada Zainuddin yang berdiri di tepi pagar itu: "Itulah rupanya orang yang engkau puji-puji itu, Hayati?" Seorang temannya berkata pula:
"Rupanya alim betul kenalanmu itu!"
"Orang 'banyak berfikir' memang begitu," kata yang seorang pula.
"Tapi model pula saya lihat baju buka ditutupkan ke telapaknya dan tidak memakai dasi," kata yang lain.
"Sarungnya sarung Bugis," kata yang seorang.
"Memang dia orang Mengkasar," kata Khadijah pula.
"00, jadi bukan orang sini?" kata yang seorang.
Tiba-tiba datanglah seorang guard mengusiri orang yang tegak di tepi pagar, kerana tak boleh terlalu dekat. Zainuddin turut terusir dengan orang banyak ....
Teman-temannya tertawa terbahak-bahak melihatkan kejadian itu, sedang keringat telah mengalir di dahi Hayati, mukanya merah dan ditekurkannya ke bumi. Orang banyak bersorak-sorak melihat kuda yang menang, anak-anak muda itu turut bersorak, hanya Hayati saja yang terdiam.
"Ai, mengapa mukamu merah Hayati?" tanya Khadijah.
"Kepalaku sangat sakit," katanya, "lebih baik kita segera pulang."
Tidak berapa saat mereka duduk dalam tribune itu mereka pun pulanglah.
Memang berbeza sekali perasaan jiwa laki-laki dengan perempuan, sebagaimana berlainnya kejadian tubuh kasarnya. Laki-laki dan perempuan sama-sama mencukupkan kehidupan dengan percintaan. Tetapi falsafah kedua belah pihak dalam perkara cinta, amat berbeza, laksana perbezaan siang dengan malam, tegasnya perbezaan Adam dengan Hawa.
Laki-laki bilamana telah menentukan cintanya untuk seorang perempuan, maka perempuan itu mesti jadi haknya seorang, tak boleh orang lain hendak ikut berkongsi dengan dia. Jika perempuan itu cantik, maka kecantikannya biarlah diketahui olehnya seorang. Jika suara perempuan itu nyaring, biarlah dia seorang yang mendengarnya. Sebab itu, kalau ada orang lain yang hendak memuji kecintaannya, atau mengatakan suaranya nyaring, atau menyanjung budi baiknya, semua itu tidaklah diterima oleh laki-laki yang mencintainya tadi. Bertambah banyak orang memuji kecintaannya, bertambah timbullah cemburu dalam hatinya, sebab perempuan itu untuk dia, buat dia, tak boleh buat orang lain.
Tetapi takdirnya ada orang yang mencela, mengatakan perempuan yang dicintainya itu buruk tidak serupa perempuan lain, kalau ada orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya, sebab dia telah memberikan cinta hati kepada seorang perempuan, yang kecantikannya tidak patut mendapat penghargaan setinggi itu, kalau ada orang mencacat, merendahkan, maka semuanya itu bagi laki-laki yang bercinta tadi, akan menambah patri cintanya dan menambah harga perempuan itu di matanya.
Tetapi cinta perempuan kepada laki-laki sebaliknya dari itu. Laki-laki pada pemandangan perempuan adalah laksana dokoh emas yang tergelung di lehernya, atau gelang bertatah berlian yang melilit tangannya, perhiasan yang akan dibanggakannya kepada kawan sesama gedangnya. Seburuk-buruk kecintaannya akan lupa dia keburukan itu, kalau laki-laki lain atau perempuan lain memujinya dekat dia, mengatakan dia seorang laki-laki yang tangkas berbudi, tenama, termasyhur dan lain-lain sebagainya. Maka nyatalah bahawa cinta perempuan kepada laki-laki lebih banyak berdasarkan ketakburan daripada kenafsuan.
Pengakuan orang lain atas kemuliaan kecantikannya atas tunangannya atau suaminya, bagi seorang perempuan adalah sebagai satu kemenangan di dalam perjuangan. Oleh sebab yang demikian, tidaklah patut kita hairan, jika Hayati termenung, mukanya tertekur, kepalanya berasa sakit, melihat kecintaannya tidak segagah orang lain, tidak sepandai orang lain memakai pakaian, seakan-akan orang yang tersisih. Selama ini, tidak ada dunia bagi Hayati lain dari Zainuddin; belum ada keindahan alam yang dipandangnya selain Zainuddin. Kegagahan laki-laki adalah perbuatan Tuhan, Zainuddinlah patrinya. Kalau hendak mencari seorang pemuda yang lurus dan yang baik hati, itulah Zainuddin. Orang cela manusia yang paling dicintainya, kerana mereka tiada kenal siapa dia.
Dia mengeluh dan berkata seorang dirinya:
"Mereka tiada kenal bagaimana kemuliaan batin Zainuddin, mereka tak tahu bahawa di balik pakaian yang kurang sempurna itu tersimpan hati yang baik. Mereka cela dia, sebab mereka tiada kenal siapa dia. Kalau mereka tahu siapa dia, tentu akan mereka hormati, sebab di sanalah tersimpan satu hati yang bersih dan jiwa yang besar."
Termenung dia seorang diri dalam kamarnya, teringat akan mimpi dan angan-angan Zainuddin terhadap dirinya, teringat dia bahawa anak muda yang melarat itu tak berhenti dirundung malang.
Dahulu, dia sangat belas kasihan melihat nasib Zainuddin, dari belas kasihan mendakilah dia kepada cinta. Maka pada ketika itu, belas kasihan itu timbullah pula kembali, sambil menarik nafas yang panjang dari dalam, dia berkata: “Kasihan nasibmu Zainuddin.”
Dari lurah belas kasihan mendaki ke puncak bukit cinta, sekarang telah menurun kembali kepada lurah kasihan. Dan cinta bilamana telah menurun kepada belas kasihan, tandanya lama kelamaan dia akan beransur turun.
Adikku Hayati!
Setelah sekian lamanya kita bercerai-cerai, masih teringat olehku seketika kau melepasku pergi, di penajunan, di batas antara negeri Batipuh dengan Ekor Lubuk, di antara sawah yang berjenjang, ketika matahari mulai naik. Masih terbayang muramnya muka kau, bagaimana teguhnya sikap kau melepasku. Masih teringat, dan masih jelas, laksana detik suara jam yang didengarkan oleh seorang yang matanya tak mahu tidur tengah malam, bagaimana kau menyuruhku sabar, menyuruh saya teguh menempuh bahaya hidup. Jika saya ingat semuanya itu, saya bacai pula surat-surat kita, maka tidaklah sepi rasanya diri saya bercerai-cerai dan berjauhan tempat tinggal dengan kau.
Pergaulan kita telah mulai menjalar ke kampong-kampung, kedamaian dan kerukunan hidup dalam kampung telah mulai diusik oleh nafsi-nafsi orang kota. Banyak orang tua-tua yang mengeluh dan merasa takut, kalau-kalau ketenteraman perempuan dalam adatnya dan kedamaian pemuda dalam sopannya akan terganggu oleh gelora zaman baru. Tetapi berlainan saya dengan mereka itu selama ini terhadap dirimu. Saya percaya bahawa engkau tak akan terpengaruh oleh segala keadaan yang baru, tetapi akan tenteram dalam lingkungan adinda tinggal, kenaI dalam kalangan keluarga siapa adinda dilahirkan, kenal pula didikan agama yang adinda terima, kenal pula bagaimana kerasnya Engku Datuk .,. menjaga anak kemenakannya.
Maafkan saya Hayati, jika saya berbicara terus terang, supaya jangan hatiku menaruh dosa walaupun sebesar zarah terhadapmu. Cinta yang sejati, adikku, tidaklah bersifat munafik, pepat di luar pancung di dalam. Akan saya katakan perasaan hati terus terang, walaupun lantaran itu saya akan kau bunuh misalnya, bahagialah saya lantaran tanganmu. Hayati! .... Apa yang saya lihat kelmarin?
Mengapa telah berubah pakaianmu, telah berubah gayamu? Mana baju kurungmu? Bukankah Adinda orang dusun! Saya bukan mencela bentuk pakaian orang kini, yang saya cela ialah cara yang telah berlebih-Iebihan, dibungkus perbuatan 'terlalu' dengan nama 'model '. Kelmarin, Adinda pakai baju yang sejarang-jarangnya, hampir separuh dada Adinda kelihatan, sempit pula gunting lengannya, dan pakaian itu yang dibawa ke tengah-tengah ramai.
Kekanda percaya, bahawa yang demikian bukan kehendak Hayati yang sejati, Hayati hanya terturut kepada kehendak perempuan zaman kini. Mereka katakan itulah kemajuan, padahal kemajuan jauh dari itu. Apakah tujuan kemajuan itu kepada perubahan pakaian sampai begitu, Hayati? Hayati, kehidupanku! Pakailah pakaianmu yang asli kembali, lekatkan pakaian dusunmu. Maaflah Hayati, bahawa Hayati sangat cantik, dan kecantikannya itu bukannya dibantu pakaian, tetapi ciptaan sejak dia dilahirkan. Jangan marah Hayati. Kau hanya buat saya seorang, bukan buat orang lain. Biarlah orang lain mengatakan kau perempuan dusun, tak kenal kemajuan pakaian zaman kini, kau Hayati . . . .. kau hanya untukku seorang.
Zainuddin
Sedang dia asyik membaca surat itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, masuklah Khadijah. Hayati mencuba hendak menyembunyikan surat itu ke bawah bantalnya, tetapi direbut segera oleh Khadijah dan .dibacanya .. Sehabis dibacanya mukanya merah padam, bibirnya dicibirkan:
"Cis' 'alim' betul orang yang engkau cintai ini. Mahunya rupanya supaya kau coreng mukamu dengan arang, pakai pakaian orang dusun Batipuh semasa 30 tahun yang lalu, alihkan pertaut sarungmu ke belakang, tindik telingamu luas-luas masukkan daun tebu yang digulung, supaya bertambah besar dan luasnya, makan sirih biar gigimu hitam, berjalan dengan kaki (terangkat-angkat junjung niru dan tampian. Di mana duduk puji dan sanjung dia, katakan dia seorang laki-laki yang jempol. Alangkah beruntungnya engkau Jika bersuami dia kelak. Engkau akan dikurung dalam rumah, menurut adat orang Arab, tak boleh kena cahaya matahari, turun sekali sejumaat. Dan bila engkau berjalan beriring-iring dengan dia, tak boleh laki-laki lain menentang mukamu, tutup muka dengan selendang, sebagai kuda bendi dengan tutup matanya. Kalau dia hendak pergi ke mana-mana, kunci rumah dibawanya, engkau hanya di dapur saja."
"Tak baik begitu, Khadijah. Tidaklah adat istiadatnya sampai seburuk yang engkau katakan itu. Engkau belum kenal akan dia, tuduhanmu telah sengit saja."
"Kenal apakah lagi yang lebih dari membaca surat ini?" "Dia baik hati, Khadijah. Tetapi dia sedang dilamun percintaan. Tidakkah engkau tahu bahawa orang yang dalam percintaan, kerap kali cemburu?"
"Kalau demikian memang berlainan sekali pendirian kita perkara cinta, Hayati. Kau terlalu dibuaikan angan-angan. Kalau bagi saya, sekiranya datang malaikat dari langit, mengaku sudi menjadi kecintaanku, dibawanya sangkar dari emas, cukup pakaian dari sutera ainal benaat, bermahkotakan intan baiduri, tetapi kemerdekaanku dirampas, dan aku wajib tinggal selama-lamanya dalam sangkar emas itu; jika aku bernyanyi hanya untuk dia, jika aku bersiul hanya buat didengamya, aku diikat, dipaksa turut ikatan itu. Maka terima kasih bagi malaikat, selamat jalan bagi sangkar emas, selamat pergi bagi mahkota baiduri. Bagiku, bebas menurutkan kata hati, di bawah perintah diri seorang, itulah tujuan yang paling tinggi dunia ini."
Kemudian itu disambungnya pula:
"Hairan saya dengan hatimu Hayati. Bagaimana engkau pemurah betul membalas cinta manusia yang sekejam itu. Baginya semuanya haram, semuanya tak boleh, semuanya terlarang. Akan jadi siapakah engkau nanti? Bagaimana wajah perjalanan hidupmu pada zaman yang akan datang, saya bingung memikirkannya. Engkau puji 'kecintaan' mu itu setinggi langit. Bagi saya tak lain orang yang demikian daripada algojo perampas kemerdekaan perempuan".
Hayati yang cantik! Yang menerbitkan iri hati dalam kalangan kawan-kawannya. Akan ke manakah hilangnya kelak kecantikan itu, akan jadi korban dan nafsu seorang yang kejam, yang hendak mengikatnya menjadi permainannya. Hayati, Hayati .... muda hanya sekali, sahabat. Cuba kau fikirkan baik-baik hari kemudian. Berkali-kali engkau menyebut nama Tuhan, seakan-akan kami yang lain ini tidak bertuhan pada pemandanganmu. Padahal tidaklah. Tuhan sekeras itu aturan-Nya, Dia tidak memberati manusia lebih daripada kuat kuasanya. Dia tidak menyuruh supaya kita semuanya jadi perempuan tua yang membongkok-bongkok pergi ke surau pukul empat hari akan siang, sebelum ayam berkokok, sebelum murai berkicau, berselimutkan kain telekung ... meraba-raba di dalam gelap. Jangan Hayati,.mari kita ambil kesempatan selagi badan muda, percayai diri sendiri cari suami yang boleh membimbing kita, dan tersenyum di dunia yang tak lama umurnya ini barang sekejap waktu ... "
Belum sempat Hayati menjawab, Khadijah telah, keluar dari kamar itu. Tinggallah Hayati seorang dirinya kebingungan tidak tentu apa yang akan dibuatnya; kadang-kadang dia tidur, kadang-kadang dia tegak, kadang-kadang dia mengeluh kadang-kadang dia menghadap ke kiri, dibacanya surat Zainuddin, kadang-kadang pula dia menghadap ke kanan, teringat perkataan Khadijah.
Bersambung…………
Pengarang: HAMKA
Tajuk : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Sunday, March 7, 2010
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Bhg. 12)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment