Wednesday, November 4, 2009

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Bhg. 8)

Pemandangan Di Dusun

Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan jujur di antara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah dalam dusun kecil itu. Di dusun, belumlah orang dapat memandang kejadian ini dengan penyelidikan yang saksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci. Yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah bahawa Hayati, kemenakan Datuk telah berintaian, bermain mata, berkirim-kiriman surat dengan anak orang Mengkasar itu. bisik dan desus, perkataan yang tak berhujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan anak muda-muda yang duduk di pelatar lepau petang hari. Sehingga akhimya telah menjadi rahsia umum.

Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi. Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana, mereka pun berbisik dan mendeham, sambil melihat kepadanya dengan sudut mata. Anak -anak muda yang masih belum kahwin dalam kampung itu sangat naik darah. Bagi mereka adalah perbuatan demikian, merendahkan darjat mereka seakan-akan kampung tak berpenjaga. Yang terutama sekali dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Datuk yang dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat malu, melangkahi kepala ninik mamak.

Ibarat bergantang, hal ini telah terlalu penuh. Telinga Datuk ... tidak sanggup lagi mendengarkan. Sehingga pada suatu malam dicarinya Zainuddin, dibawanya berbicara bermuka-muka.

"Zainuddin," ujamya, "telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua, telah melakukan perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya, bahawa engkau tiada melakukan perbuatan yang tiada senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merosakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasihat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merosakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang di panas dan belum lapuk di hujan, supaya engkau surut."

Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak putus tunggal rasa kepalanya. Lalu dia berkata: "Mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?"

"Harus hal itu saya tanyai, kerana di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berkaum kerabat, dia bukan sembarangan orang"


"Saya akui hal demikian, Engku. Tetapi itulah kemalangan nasib saya, mengapa dahulunya saya berkenalan dengan dia, mengapa maka hati saya terjatuh kepadanya, dan dia sambut kemalangan untungku dengan segenap belas kasihan. Cuma sehingga itu perjalanan perkenalan kami selama kami hidup, lain tidak!"
"Ya, tapi kasihan Hayati. Engkau sendiri tahu bagaimana dia dipandang bunga di dalam persukuannya. Dahulu dia lurus, gembira, tetapi sekarang telah pemenung dan pehiba hati. Hatinya telah rosak binasa semenjak berkenalan dengan engkau dan kalau dipenturutkan agaknya badannya akan kurus kering, dan kalau dia terus binasa, bukankah segenap persukuan dan perlindungan di rumah gedang kehilangan mustika?

Zainuddin! Serba susah saya di dalam hal ini. Nama saya sendiri, gelar pusaka turun-temurun menjadi buah mulut orang, dikatakan mamak yang tak pandai mengatur kemena¬kan. Dan lagi engkau sendiri, belumlah tinggi pemandangan orang kepada didikan sekolah. Kejadian ini telah mereka pertalikan dengan sekolah, itulah bahaya anak kemenakan diserahkan ke sekolah kata mereka sudah pandai dia berkirim-kiriman surat dengan laki-laki, padahal bukan jodohnya. Sebab itu, sangatlah saya minta kepadamu, Zainuddin, sudilah kiranya engkau melepaskan Hayati dari dalam kenanganmu, dan berangkatlah dari negeri Batipuh yang kecil ini segera, untuk kemaslahatan Hayati."

"Ertinya Engku merenggutkan jantung saya dari dada saya," jawab Zainuddin sambil menekur.

"Engkau seorang laki-laki, Zainuddin. Sakitmu ini hari, bolehlah engkau ubat besok dan lusa. Tetapi seorang perempuan .... seorang perempuan mahu binasa kalau menahan hati." ; .

"Tidak Engku ... hati laki-lakilah yang kerap remuk lama, perempuan dapat segera melupakan hidupnya di zaman muda."

"Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai."

"Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai," perkataan ini terhunjam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat mat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kahwin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat.

Dia termenung mengingat untungnya, yang hanya mengecap lazat cinta laksana bayang-bayang dalam mimpi. Tetapi cinta suci bersedia menempuh korban, bersedia hilang, kalau hilang itu untuk kemaslahatan kecintaan, bersedia menempuh maut pun, kalau maut itu perlu. Kerana bagi cinta yang murni, tertinggal jauh di belakang pertemuan jasmani dengan jasmani, terlupa pergabungan badan dan badan, hanyalah keikhlasan dan kesucian jiwa yang diharapnya.

"Angkatlah kepalamu Zainuddin, berilah saya kata putus," ujar Datuk .... pula.

Diangkatnya kepalanya, dan kelihatanlah air matanya berlinangan. "Berilah saya keputusan, berangkatlah!" "Ba ... iklah, Engku!"

Didekatinya Zainuddin, ditepuknya bahu anak muda itu dengan perlahan seraya berkata:

"Moga-moga Allah memberimu perlindungan."

Dia pergi, dan Zainuddin ditinggalkannya masih termenung.
Hayati duduk di ruang tengah merendai sehelai sarung bantal, entah sarung bantal persiapan kahwin, tidaklah kita ketahui. Tiba-tiba Datuk ... masuk ke rumah dan berdiri dekat Hayati sambil berkata:

"Sudahkah engkau tahu, Hayati?"

"Apa Engku?" "Zainuddin ... "

Muka Hayati kelihatan pucat dan jahitannya terlepas dari tangannya.

"Zainuddin telah saya suruh pergi dan Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukit Tinggi saja, dia telah mahu."
Meskipun dengan sepayah-payahnya Hayati menahan hatinya, namun mukanya nyata pucat kelihatan, terlompat juga pertanyaan dari mulutnya: "Apa sebab Engku suruh dia pergi?"

"Banyak benar fitnah-fitnah orang terhadap dirinya dan dirimu sendiri."

"Tapi perhubungan kami suci, tidak bercampur dengan perbuatan yang melanggar sopan santun."

"Hai Hayati! Jangan engkau ukur keadaan kampungmu dengan kitab-kitab yang engkau baca. Percintaan hanyalah khayal dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu dahlam pergaulan hidup, cela besar namanya merosakkan nama, merosakkan ninik mamak, korong kampung, rumah halaman."


"Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana Engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengambil sayajadi isterinya."

"Mana boleh jadi, Gadis. Menyebut saja pun tidak patut, kononlah melangsungkan."

"Bagaimana tidak akan boleh jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?"


"Hai Upik, baru kelmarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, peme¬nung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-angan. Pada zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencarian, tentu asal usul. Jika perkahwinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahawa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat tak boleh. lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?"

"Oh Engku, mengapa Engku sampai hati membunuh Zainuddin dan membunuh kemenakan Engku sendiri?"

"Tidak Hayati, kau harus tenangkan fikiranmu. Mari kau bersedih, kerana segala sesuatu kau pandang dengan percintaan, bukan mata pertimbangan. Akan datang zamannya kau sedar, kau puji perbuatanku dan tidak kau sesali. Moga-moga habis cinta kau kepadanya, kerana cinta demikian bererti menghabiskan umur dan perbuatan sia-sia. Mamakmu bukan membunuh, tetapi meluruskan kembali jalan kehidupanmu, pengalamanku telah banyak . Mamak tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu pahit dan

getirnya hidup ini."

Hayati menangis, menangisi nasib sendiri dan menangisi zainuddin, dia meniarap di ujung kaki mamaknya meminta dikasihani. Tapi percuma, percuma menanamkan padi di sawah yang tak berair, percuma mendakikan akar sirih, memanjat batu. Percuma, percuma meminta sisik sendiri," ujar mamaknya pula, sambil menarikkan kakinya yang sedang dipagut oleh Hayati perlahan-lahan.

Zainuddin baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan muka pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata:

"Lebih baik engkau tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu disebut-sebut orang banyak sekali. Tadi petang Mande mendengar beberapa anak muda hendak bermaksud jahat kepadamu."


Bersambung…………

Pengarang: HAMKA
Tajuk : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

No comments: