Cahaya Hidup
Pagi-pagi sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian ke sawah, dan sebelum anak-anak muda menyandang bajaknya, sebelum anak-anak sekolah berangkat ke sekolah, seorang anak kecil laki-laki datang ke muka surau tempat Zainuddin tidur, membawa payung yang dipinjamkannya kelmarin. Dia hampiri anak itu, dan anak itu pun berkata:"Kak Ati berkirim salam dan menyuruh kembalikan payung ini," sambil memberikannya kepada Zainuddin.
Payung itu di sambutnya dengan sikap yang gugup anak itu pula memberikan pula sepucuk surat kecil:"Surat ini pula…" katanya. Agak tercengang Zainuddin
menerima surat itu, dibawanya kembali ke surau. Kebetulan teman-temannya telah pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, dibukanya…
"Tuan Zainuddin!"
Bersamaan dengan anak ini saya kirimkan kembali payung yang telah saya pinjam kelmarin. Alangkah besar terima kasih atas pertolongan itu, tak dapat disini saya nyatakan. Pertama, pada waktu hari hujan saya tak bersedia payung. Tuan telah sudi berbasah-basah untuk memelihara diri seorang anak perempuan yang belum Tuan kenal. Kedua, kesyukuran saya lebihkan lagi dapat berkenalan dan bersahutan mulut dengan Tuan, orang yang selama ini terkenal dengan baik budinya. Sehingga bukan saja rupanya hujan mendatangkan basah, tetapi mendatangkan rahmat. Moga-moga pada suatu waktu kelak, dapatlah saya membalas budi Tuan.
Hayati
Disimpannya surat itu ke dalam sakunya. Tidak dapat dia mengertikan dan mentafsirkan surat itu, yang penuh berisi ketulusan dan keikhlasan. Susun katanya amat manis tetapi bersahaja. Setelah beberapa saat kemudian pulanglah Zainuddin dari surau ke rumah bakonya.sehabis makan dan minum, matahari telah sepenggalah naik, kira-kira pukul 9 pagi, orang telah lengang di kampung dan ramai di sawah, rasa-rasa kehilangan semangat Zainuddin duduk di rumah. Kebetulan pada waktu itu hari sudah hampir puasa, rumah-rumah pelajaran agama di kampung-kampung telah ditutup.
Hatinya amat tertarik melihatkan kebiruan langit sehari itu, apalagi kelmarinnya hujan, puncak Gunung Merapi jelas kelihatan, Sungai Batah Gadis laksana bernyanyi dengan airnya yang terus mengalir. Dari jauh kedengaran nyanyian anak gembala sawah-sawah yang luas. Maka setelah meminta diri kepada Madehnya, turunlah dia ke halaman, menuju ke sawah yang luas itu hendak melihat orang menyabit dan mengirik, atau pun membakar jerami. Dilaluinya dari satu permatang sawah ke permatang yang lain, di mana dangau yang tak berorang, dia berhenti duduk, termenung menentang Bukit Tui, menentang Danau sumpur yang indah, atau Gunung Singgalang yang penuh dengan tebu, berombak kelihatan dari jauh dipuput angin. Tiba-tiba sampailah dia ke sepiring sawah, rupanya orang tua itu kenal akan Zainuddin.
"Ai Zainuddin, sampai pula engkau ke mari, pandaikah engkau menyabit?" tegur orang tua itu.
"Pandai juga Engku," jawabnya.
"Banyak jugakah padi di Mengkasar?"
"Di kota Mengkasar tidak ada padi, tetapi sedikit saja keluar dari Mengkasar telah penuh padi, bahkan makanan orang mengkasar dari padi keluarann Maros, Pangkajene, Sidenreng dan lain-lain."
Orang tua itu pun meneruskan pekerjaannya. Zainuddin bertanya kembali:
"Mengapa Engku seorang saja yang menyabit di sini? Kuatkah Engku?
"Tadi ramai anak muda-muda yang menolong, tetapi lantaran pekerjaan sudah hampir selesai, mereka telah meminta izin untuk pulang. Pekerjaan ini sudah dua hari dikerjakan, sekarang baru hampir siap…."
"Demikianlah Zainuddin." Ujarnya pula, "kalau kita sudah tua macam saya ni, kalau kurang buat kerja menolong anak cucu, dengan apa beras mereka akan dibeli? Tulang sudah lemah, yang akan mereka harapkan daripada kita tidak ada lagi. Semasa muda kita harus berusaha sepenuh tenaga, sehendaknya di hari tua istirehat. Akan beristirehat saja, tangan tak mahu diam, dia hendak kerja juga."
"Indah benar hari sehari ini, Zainuddin" ujarnya pula, "cubalah lihat langit jernihnya, lihatlah puncak Merapi seakan-akan telah berhenti mengepulkan asapnya. Keadaan yang begini mengingatkan saya kepada zaman badan kuat, tulang kuat dan seluruhnya kuat, wang pun ada pula. Waktu itu saya keluar dari rumah dengan perasaan yang gembira, tidak memperdulikan kesengsaraan dan kesusahan. Saya gelakkan orang tua-tua yang termenung-menung. Sekarang setelah badan tua, baru kita insaf dan ingat. Ah Zainuddin, kalau engkau rasai tua esok."
"Di Mengkasar apa pencarian orang. Apa yang laku di sana?" Tanya orang tua itu pula.
"Macam-macam, sebagai di sini juga. Cuma di sana dekat lautan, kami di sana lebih banyak mengirim barang hutan ke luar negeri."
"Makanan?"
"Maklumlah negeri di pinggir laut, tentu saja ikan laut."
"Oh, di sini kalau ikan, lebih di sukai orang yang datang dari laut Sumpur."
Tiba-tiba, sedang mereka bercengkerama demikian rupa, datanglah dengan melalui permatang sawah, seorang perempuan diiringkan oleh seorang anak laki-laki. Dan…. Alangkah terkejutnya Zainuddin demi dilihatnya itu Hayati, diiringkan oleh adiknya, anak yang memulangkan payungnya dan memberikan surat pagi tadi. Dia datang ke sawah menjunjung sebuah bungkusan dan menjinjing tebung kopi daun. Dilihatnya Zainuddin ada di situ, dia pun tercengang, mukanya agak berubah merah. Zainuddin pun demikian pula.
"Ai, ini dia datang, si Ati. Bukan saya katakan kepadamu tadi?" kata orang tua itu.
"Ya Engku" sahut Zainuddin dengan sedikit gugup.
"Nama kemanakanku ini Hayati, die sekarang sudah tamat kelas 5 di sekolah agama, ini adiknya si Ahmad, baru tiga tahun bersekolah."
"Ya Engku, kelmarin saya bertemu dengan dia di Ekor Lubuk, ketika dia kembali dari Padang Panjang, kehujanan…….."
"Dipinjamnya saya payung, sampai dia sendiri berbasah kuyup pulang," sela hayati, lalu diceritakannya pertolongan itu sejak dari awal ke akhirnya.
Ah berbudi sekali engkau Zainuddin"
"Engku pun serupa dengan Hayati, barang yang kecil itu dibesar-besarkan. Padahal itu hanya suatu kewajipan."
Hayati merasa tersindir, ia ingat suratnya. Dan datuk menjawab, sambil menaikkan pisang tumbuk kedalam mulutnya:" Tidak Zainuddin, meskipun hal itu engkau pandang perkara kecil, bagi yang menerima budi, hal itu dipandang besar ertinya. Apalagi engkau anak pisang kami."
Demikianlah seketika zuhur hampir habis, orang tua itu pun pulanglah ke rumahnya, diiringkan oleh kedua cucunya. Zainuddin sendiri seketika akan bercerai-cerai, dilihatnya Hayati tenang-tenang, satu suara pun tak keluar dari mulutnya.
Mulut yang demikian ganjil lakunya. Dia tak kuasa berkata sepatah jua apabila berhadapan, tetapi kaya dengan perasaan apabila duduk seorang diri.
Setelah itu dia pulang, dari jauh masih dilihatnya ketiga-tiga orang itu sambil mengayuh langkah di antara permatang dan beberapa sawah yang belum disabit padinya.
Di lihatnya sekali lagi yang disekelilingnya, tiba-tiba dari sedikit ke sedikit, wajah alam itu pun bertukarlah penglihatannya dari biasa. Air yang mengalir seakan-akan bernyanyi, bunyi puyuh anak gembala seakan-akan penghibur, deru angina di telinga seakan-akan menghembuskan harapan baru. Orang-orang yang ditemuinya di tengah jalan, bila menyapanya, dijawab sapaan itu, tetapi setelah sepuluh langkah orang itu pergi, baru ia ingat kembali.
Dia pulang ke rumah bakonya. Setelah petang dia kembali ke suraunya. Mengapa sudah dua hari dia merasai dirinya seakan-akan orang demam? Apakah penyakitnya? Bertanya di dalam hati, dimasukkan tangannya ke dalam sakunya, tiba-tiba terasa olehnya sepucuk surat. Dadanya berdebar dia teringat isi surat itu, teringat nama yang mengirimnya…..Hayati, kehidupanku!
Sekarang terbukalah rahsia dari penyakit itu. Dia kebingungan, bukan kegilaan, bukan putus harapan, bukan apa-apa, bukan…..! Penyakit itu telah terang namanya. Penyakit itu, tetapi nikmat, nikmat tetapi penyakit. Orang ditimpanya, tetapi orang itu tidak hendak sembuh darinya..penyakit cinta!
Pertemuan di sawah itu, amat besar ertinya buat menciptakan penghidupan kedua hamba Tuhan itu. Kedua pertemuan itulah asal cerita yang menyedihkan hati ini. Sejak Zainuddin berkenalan dengan Hayati, dia tidak merasa sunyi lagidi Tanah Minangkabau yang memandangnya orang asing itu. Minangkabau telah lain dalam pemandangannya sekarang telah ramai, telah mengalirkan pengharapan yang baru dalam hidupnya. Disinilah kedua makhluk itu mempersambungkan tali jiwa, sebelum mempersambungkan mulut. Keluhan dan tarikan nafas yang panjang, kegugupan menentang muka orang yang dihadapi, telah cukup menjadi lukisan dari kata-kata hati.
Bilamana Zainuddin duduk dalam kesunyian itu, bagaikan dirobeknya hari supaya lekas petang, moga-moga dapat melihatnya Hayati pula. Tetapi setelah bertemu lidahnya kaku, tak dapat apa yang disebutnya. Hayati sendiri pun semenjak waktu itu kerap kali bagai orang keraguan. Dia berasa sebagai kehilangan, padahal bilamana dilihatnya tas tempat bukunya, tak ada alat pekakas yang kurang.
Ada seorang sahabatnya yang bersekolah, bernama Khadijah, tinggal di Padang Panjang. Pada suatu hari dikirimnya sepucuk surat kepada Khadijah yang pada ketika membaca surat itu, dapat diketahui bagaimana perasaan hatinya. Bunyinya…
Pagi-pagi sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian ke sawah, dan sebelum anak-anak muda menyandang bajaknya, sebelum anak-anak sekolah berangkat ke sekolah, seorang anak kecil laki-laki datang ke muka surau tempat Zainuddin tidur, membawa payung yang dipinjamkannya kelmarin. Dia hampiri anak itu, dan anak itu pun berkata:"Kak Ati berkirim salam dan menyuruh kembalikan payung ini," sambil memberikannya kepada Zainuddin.
Payung itu di sambutnya dengan sikap yang gugup anak itu pula memberikan pula sepucuk surat kecil:"Surat ini pula…" katanya. Agak tercengang Zainuddin
menerima surat itu, dibawanya kembali ke surau. Kebetulan teman-temannya telah pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, dibukanya…
"Tuan Zainuddin!"
Bersamaan dengan anak ini saya kirimkan kembali payung yang telah saya pinjam kelmarin. Alangkah besar terima kasih atas pertolongan itu, tak dapat disini saya nyatakan. Pertama, pada waktu hari hujan saya tak bersedia payung. Tuan telah sudi berbasah-basah untuk memelihara diri seorang anak perempuan yang belum Tuan kenal. Kedua, kesyukuran saya lebihkan lagi dapat berkenalan dan bersahutan mulut dengan Tuan, orang yang selama ini terkenal dengan baik budinya. Sehingga bukan saja rupanya hujan mendatangkan basah, tetapi mendatangkan rahmat. Moga-moga pada suatu waktu kelak, dapatlah saya membalas budi Tuan.
Hayati
Disimpannya surat itu ke dalam sakunya. Tidak dapat dia mengertikan dan mentafsirkan surat itu, yang penuh berisi ketulusan dan keikhlasan. Susun katanya amat manis tetapi bersahaja. Setelah beberapa saat kemudian pulanglah Zainuddin dari surau ke rumah bakonya.sehabis makan dan minum, matahari telah sepenggalah naik, kira-kira pukul 9 pagi, orang telah lengang di kampung dan ramai di sawah, rasa-rasa kehilangan semangat Zainuddin duduk di rumah. Kebetulan pada waktu itu hari sudah hampir puasa, rumah-rumah pelajaran agama di kampung-kampung telah ditutup.
Hatinya amat tertarik melihatkan kebiruan langit sehari itu, apalagi kelmarinnya hujan, puncak Gunung Merapi jelas kelihatan, Sungai Batah Gadis laksana bernyanyi dengan airnya yang terus mengalir. Dari jauh kedengaran nyanyian anak gembala sawah-sawah yang luas. Maka setelah meminta diri kepada Madehnya, turunlah dia ke halaman, menuju ke sawah yang luas itu hendak melihat orang menyabit dan mengirik, atau pun membakar jerami. Dilaluinya dari satu permatang sawah ke permatang yang lain, di mana dangau yang tak berorang, dia berhenti duduk, termenung menentang Bukit Tui, menentang Danau sumpur yang indah, atau Gunung Singgalang yang penuh dengan tebu, berombak kelihatan dari jauh dipuput angin. Tiba-tiba sampailah dia ke sepiring sawah, rupanya orang tua itu kenal akan Zainuddin.
"Ai Zainuddin, sampai pula engkau ke mari, pandaikah engkau menyabit?" tegur orang tua itu.
"Pandai juga Engku," jawabnya.
"Banyak jugakah padi di Mengkasar?"
"Di kota Mengkasar tidak ada padi, tetapi sedikit saja keluar dari Mengkasar telah penuh padi, bahkan makanan orang mengkasar dari padi keluarann Maros, Pangkajene, Sidenreng dan lain-lain."
Orang tua itu pun meneruskan pekerjaannya. Zainuddin bertanya kembali:
"Mengapa Engku seorang saja yang menyabit di sini? Kuatkah Engku?
"Tadi ramai anak muda-muda yang menolong, tetapi lantaran pekerjaan sudah hampir selesai, mereka telah meminta izin untuk pulang. Pekerjaan ini sudah dua hari dikerjakan, sekarang baru hampir siap…."
"Demikianlah Zainuddin." Ujarnya pula, "kalau kita sudah tua macam saya ni, kalau kurang buat kerja menolong anak cucu, dengan apa beras mereka akan dibeli? Tulang sudah lemah, yang akan mereka harapkan daripada kita tidak ada lagi. Semasa muda kita harus berusaha sepenuh tenaga, sehendaknya di hari tua istirehat. Akan beristirehat saja, tangan tak mahu diam, dia hendak kerja juga."
"Indah benar hari sehari ini, Zainuddin" ujarnya pula, "cubalah lihat langit jernihnya, lihatlah puncak Merapi seakan-akan telah berhenti mengepulkan asapnya. Keadaan yang begini mengingatkan saya kepada zaman badan kuat, tulang kuat dan seluruhnya kuat, wang pun ada pula. Waktu itu saya keluar dari rumah dengan perasaan yang gembira, tidak memperdulikan kesengsaraan dan kesusahan. Saya gelakkan orang tua-tua yang termenung-menung. Sekarang setelah badan tua, baru kita insaf dan ingat. Ah Zainuddin, kalau engkau rasai tua esok."
"Di Mengkasar apa pencarian orang. Apa yang laku di sana?" Tanya orang tua itu pula.
"Macam-macam, sebagai di sini juga. Cuma di sana dekat lautan, kami di sana lebih banyak mengirim barang hutan ke luar negeri."
"Makanan?"
"Maklumlah negeri di pinggir laut, tentu saja ikan laut."
"Oh, di sini kalau ikan, lebih di sukai orang yang datang dari laut Sumpur."
Tiba-tiba, sedang mereka bercengkerama demikian rupa, datanglah dengan melalui permatang sawah, seorang perempuan diiringkan oleh seorang anak laki-laki. Dan…. Alangkah terkejutnya Zainuddin demi dilihatnya itu Hayati, diiringkan oleh adiknya, anak yang memulangkan payungnya dan memberikan surat pagi tadi. Dia datang ke sawah menjunjung sebuah bungkusan dan menjinjing tebung kopi daun. Dilihatnya Zainuddin ada di situ, dia pun tercengang, mukanya agak berubah merah. Zainuddin pun demikian pula.
"Ai, ini dia datang, si Ati. Bukan saya katakan kepadamu tadi?" kata orang tua itu.
"Ya Engku" sahut Zainuddin dengan sedikit gugup.
"Nama kemanakanku ini Hayati, die sekarang sudah tamat kelas 5 di sekolah agama, ini adiknya si Ahmad, baru tiga tahun bersekolah."
"Ya Engku, kelmarin saya bertemu dengan dia di Ekor Lubuk, ketika dia kembali dari Padang Panjang, kehujanan…….."
"Dipinjamnya saya payung, sampai dia sendiri berbasah kuyup pulang," sela hayati, lalu diceritakannya pertolongan itu sejak dari awal ke akhirnya.
Ah berbudi sekali engkau Zainuddin"
"Engku pun serupa dengan Hayati, barang yang kecil itu dibesar-besarkan. Padahal itu hanya suatu kewajipan."
Hayati merasa tersindir, ia ingat suratnya. Dan datuk menjawab, sambil menaikkan pisang tumbuk kedalam mulutnya:" Tidak Zainuddin, meskipun hal itu engkau pandang perkara kecil, bagi yang menerima budi, hal itu dipandang besar ertinya. Apalagi engkau anak pisang kami."
Demikianlah seketika zuhur hampir habis, orang tua itu pun pulanglah ke rumahnya, diiringkan oleh kedua cucunya. Zainuddin sendiri seketika akan bercerai-cerai, dilihatnya Hayati tenang-tenang, satu suara pun tak keluar dari mulutnya.
Mulut yang demikian ganjil lakunya. Dia tak kuasa berkata sepatah jua apabila berhadapan, tetapi kaya dengan perasaan apabila duduk seorang diri.
Setelah itu dia pulang, dari jauh masih dilihatnya ketiga-tiga orang itu sambil mengayuh langkah di antara permatang dan beberapa sawah yang belum disabit padinya.
Di lihatnya sekali lagi yang disekelilingnya, tiba-tiba dari sedikit ke sedikit, wajah alam itu pun bertukarlah penglihatannya dari biasa. Air yang mengalir seakan-akan bernyanyi, bunyi puyuh anak gembala seakan-akan penghibur, deru angina di telinga seakan-akan menghembuskan harapan baru. Orang-orang yang ditemuinya di tengah jalan, bila menyapanya, dijawab sapaan itu, tetapi setelah sepuluh langkah orang itu pergi, baru ia ingat kembali.
Dia pulang ke rumah bakonya. Setelah petang dia kembali ke suraunya. Mengapa sudah dua hari dia merasai dirinya seakan-akan orang demam? Apakah penyakitnya? Bertanya di dalam hati, dimasukkan tangannya ke dalam sakunya, tiba-tiba terasa olehnya sepucuk surat. Dadanya berdebar dia teringat isi surat itu, teringat nama yang mengirimnya…..Hayati, kehidupanku!
Sekarang terbukalah rahsia dari penyakit itu. Dia kebingungan, bukan kegilaan, bukan putus harapan, bukan apa-apa, bukan…..! Penyakit itu telah terang namanya. Penyakit itu, tetapi nikmat, nikmat tetapi penyakit. Orang ditimpanya, tetapi orang itu tidak hendak sembuh darinya..penyakit cinta!
Pertemuan di sawah itu, amat besar ertinya buat menciptakan penghidupan kedua hamba Tuhan itu. Kedua pertemuan itulah asal cerita yang menyedihkan hati ini. Sejak Zainuddin berkenalan dengan Hayati, dia tidak merasa sunyi lagidi Tanah Minangkabau yang memandangnya orang asing itu. Minangkabau telah lain dalam pemandangannya sekarang telah ramai, telah mengalirkan pengharapan yang baru dalam hidupnya. Disinilah kedua makhluk itu mempersambungkan tali jiwa, sebelum mempersambungkan mulut. Keluhan dan tarikan nafas yang panjang, kegugupan menentang muka orang yang dihadapi, telah cukup menjadi lukisan dari kata-kata hati.
Bilamana Zainuddin duduk dalam kesunyian itu, bagaikan dirobeknya hari supaya lekas petang, moga-moga dapat melihatnya Hayati pula. Tetapi setelah bertemu lidahnya kaku, tak dapat apa yang disebutnya. Hayati sendiri pun semenjak waktu itu kerap kali bagai orang keraguan. Dia berasa sebagai kehilangan, padahal bilamana dilihatnya tas tempat bukunya, tak ada alat pekakas yang kurang.
Ada seorang sahabatnya yang bersekolah, bernama Khadijah, tinggal di Padang Panjang. Pada suatu hari dikirimnya sepucuk surat kepada Khadijah yang pada ketika membaca surat itu, dapat diketahui bagaimana perasaan hatinya. Bunyinya…
Bersambung lah lagi…..
*Penulis: HAMKA
*Tajuk : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
No comments:
Post a Comment